Kamis, 28 Februari 2013

Memmories in the Rain


Tokoh : Novera , Vania , Mario , Rizky , Helda , Putra , Eva


Novera berdiri di atas bukit dengan sepedanya.Dia meremas-remas tangannya yang disertai keringat dingin. “Darrr..... “Hayo lama banget ya gue ?”. Vania tersenyum meminta maaf. Vera merebahkan tubuhnya di pohon besar dan Vania pun mengikutinya. Mereka berdua sama-sama mendongak ke atas langit dan berbicara kepada diri mereka masing-masing. Akankah nanti mereka pergi dari dunia ini ?
“Lo lagi inget orang tua lo ya?” Vania merangkul kepala Bintang.
“Gue takut Van, gue hanya takut.” Vera melepaskan satu butir air matanya, dia merindukan orang tuanya.
“Gue sayang lo Vera, gue udah anggep lo jadi ade gue sendiri.Kita ini saudara,sahabat,keluarga, lo inget itu?” Vania menatap Vera lekat-lekat.
“Makasih Van.” Mereka pun berpelukan dan Vera menumpahkan air matanya, untuk kerinduan akan orang tuanya, kesendiriaannya, dan semua kekosongan yang ia rasakan.
Mereka pulang menenteng sepeda masing-masing.Vera merasa lega karena ia telah menangis, menumpahkan segalanya.
“Vera lo cerita dong, lo udah janji bakal bilang siapa cowok yang lo suka.”
“Lo dulu aja Van.” Vera menyeringai, meminta dan memohon kepada Vania.
“Lo dulu ah.” Vania mengelak.
“Lo dulu Van, entar abis lo baru gue, janji deh.” Vera berusaha meyakinkan Vania.
“Oke. Gue suka sama Mario, gue bener-bener suka sama dia. Bukankah gue pernah bilang?”
Vera terdiam, bukankah itu yang akan dikatakannya? Kenapa harus keduluan oleh Vania? Lalu bagaimana?
“Ver lo denger kan?”
“Iya.”
“Gue suka sama Mario.Dia sering senyum ke gue, entah gue yang geer atau ngga tapi gue suka sama dia.”
“Oh.”
“Kalo lo suka sama siapa?”
“Gue gak tahu.”
“Kok lo gitu sih, lo kan udah janji sama gue, lo ga boleh tertutup gitu dong.”
“Gue suka sama ............’’
“Sama siapa?”
“Sama siapa ya ..... ’’
“Siapa namanya?”
“Gue gak tahu namanya.”
“Udah Ver, gue tau ko lo suka sama Rizky kan?”
Vera menganngguk pelan dengan ragu dan menatap wajah sahabatnya yang sedang gembira. Oh Tuhan ... kenapa harus Rizky , kenapa harus dia yang terlibat? Vera mengumpat dalam hati.
“Lo harus bantu gue biar dapetin dia.”
“Gue harus gimana?”
“Lo harus terus deketin dia, ngulik tentang dia.”
“Hm ... ‘’’
“Lo lakuin buat gue yah ?”
“Ya.”
“Gue juga bakal lakuin hal yang sama.”
“Apaaaaaaa?”
*
Vera masuk ke dalam rumahnya, dia meletakan sepedanya dengan asal di perkarangan rumah.Dia enggan untuk mengembalikannya ke dalam garasi mobil.Vera langsung menuju kamarnya, meyalakan lampu dan duduk di depan jendela. Gerimis sudah menyapanya sore ini, meski ia tak merasakannya tapi ia menikmatinya di dalam kamarnya. Akhir-akhir ini sering turun gerimis atau hujan sepanjang malam. Tapi dia lebih meyukai gerimis dan pelangi sehabis hujan. Vera melihat kompleks perumahannya yang berderet memanjang saling menghadap ke jalan. Vera mengambil buku dan pensil kesayangannya. Dia menulis dan terus menggoreskan isi hatinya dia atas kertas putih itu ..
Tuhan, aku lelah dengan semuanya.Mereka selau bersandiwara di depanku. Apakah mereka tidak merasa bahagia? Lalu aku siapa bagi mereka? Tuhan, mengapa setiap aku menatap matanya aku merasakan kekosongan yang sama? Tapi hati ini sejuk setiap kali dia berada di sampingku. Semua orang tahu bahwa dia adalah cowok yang luar biasa.Dia tampan, pintar, dan populerTapi kadang tatapannya begitu kosong, bahasa tubuhnya begitu dingin dan kaku.Itulah yang kurasakan saat aku duduk bersamanya. Kami memang tak sering banyak bicara, hanya saja sering berbasa basi. Vania bilang dia menyukainya, lalu kenapa aku juga harus menyukainya? Apa aku bisa masuk ke dalam dunianya? Apakah dia juga selalu merasakan kesenidirian yang selalu aku rasakan selama ini? Aku tidak tahu .. Aku tak ingin tahu...
Vera merebahkan tubuhnya di atas ranjang.Dia memeluk gulingnya, lau menoleh ke samping kannanya menatap foto orang tuanya. Mama Papa, jangan tinggalin aku.Vania, Bude Helda, Opa, Om Putra, kalian orang-orang yang sayang aku, aku juga sayang kalian.
*
Prang........ Tiba-tiba suara itu menghantam telinga Vera. Vera terperanjat kaget dan bangun dari tidurnya.Tak perlu waktu lama untuk memikirkan dari mana arah suara itu.Vera langsung keluar dari kamarnya menuruni tangga dan menuju ruang tamu.Dia melebarkan matanya ketika masih berdiri di anak tangga.Mama Papa? Kenapa mereka? Mengapa Mama menangis? Mengapa Mama mendorong Papa hingga terjatuh? Oh Tuhan .. Ada apa dengan semua ini? Vera kembali berlari menaiki tangga menuju kamarnya.Dia langsung melompat ke atas ranjang dan memeluk gulingnya. Vera kembali menumpahkan air matanya.
Tuhan mengapa mereka harus bertengkar? Salah apa Papa sehingga Mama harus mendorongnya hingga terjatuh? Tuhan, kenapa Mama menangis? Tuhan .. kenapa Tuhan? Kenapa?
*
Vera duduk seperti biasa di depan jendela menatap cahaya matahari sore. Dia bosan sendirian, tadi dia melihat papanya pulang dan langsung tidur. Vera keluar dari kamarnya menjinjing jaket kulitnya dan berpamitan kepada Mbok Eva untuk pergi sebentar. Mamanya pergi ke luar kota selama satu minggu dan kembali memperkerjakannya pembantunya.
Vera berjalan di sekitar area kompleks yang sepi. Dia duduk di sebuah ayunan yang di depannya terdapat sebuah danau kecil. Dia bergelayun layaknya saat ia masih jadi anak TK. Tiba-tiba ayunan itu terhenti, dia menoleh ke samping dan Mario ada di sana.
“Rio lo ngapain di sini?”
“Keliatannya?”
“Nggak ngapa-ngapain.”
Mario tersenyum tipis. Vera memandanginya dengan teliti, dia selalu mendapat kesan kagum setiap kali memandang wajahnya. Tampan.
“Jalan-jalan yuk?”
“Kemana? Menurut lo bakal hujan gak yo?”
“Paling gerimis doang.”
Vera tersenyum bahagia. Mereka berjalan menyusuri jalanan kompleks yang sunyi.
“Mario lo punya adek, punya kakak, atau anak tunggal?”
“Gue anak tunggal, kenapa?”
“Nggak, gue juga anak tunggal. Kalo orang tua lo gimana?”
“Ibu gue seorang dokter gigi, Ayah gue kepala rumah sakit.”
“Oh pantesan gigi lo rapi.” Vera tertawa.
“Kalo ibu gue punya beberpa hotel di Jakarta, dia seorang bisniswoman, Ayah gue juga Direktur perusahaan.”
Vera mendongak ke atas langit, menatap langit yang mulai mendung.
“Apa yang lo suka Yo?”
“Apa aja.”
“Pasti lo suka matematika, suka basket, suka musik, dan lo suka apa aja.”
“Kalo lo?”
“Gue suka gerimis, gue suka pelangi, gue suka sastra, gue suka boneka, gue suka bunga, gue suka banyak.”
“Lo gak suka matematika, lo gak suka sejarah .. ’’
“Haha gue gak suka tuh sama semua pelajaran yang ada di sekolah.”
“Lo suka sastra.”
“Tapi gue Cuma suka sastra Prancis, sastra indonesia gue gak terlalu suka selain novel.”
“Gue suka coklat.”
“Gue gak suka coklat, gigi gue udah bolong-bolong.”
Mario mengelus-ngelus kepala Vera. Vera kaget dengan apa yang di lakukan Mario kepadanya.
“Ini rumah gue ... “
“Hah ini rumah gue .. jadi rumah kita berhadapan?”
Mario tak menjawab, dia langsung membuka pagar rumahnya dan masuk ke dalam rumah. Vera masih terdiam disana dan menatap rumah Mario. Jadi selama ini rumah aku sama Mario satu kompleks dan berhadapan? Oh Tuhan ...
*
Pagi hari Vera menuruni tangga lengkap dengan seragam dan tasnya. Dia berjalan menuju meja makan dan langsung menyambar roti isi kacang kesukaannya.
Vera berdiri di pinggir jalan celingukan mencari-cari Mario. Kok selama ini gak pernah ketemu yah? Vera berdiri selama setengah jam dan hasilnya nihil. Apa dia berangkat subuh kali ya? Vera berjalan pergi meninggalkan rumahnya. Dia tak mau terlambat seperti hari kemarin, harus ketinggalan pelajaran dan susah meminjam catetan Mario
*
Vera duduk di kursinya dan menatap soal-soal yang ada di depannya dengan bingung. Kok susah banget sih soalnya? Vera menyesali kebodohannya dalam hitungan. Dia menoleh ke belakang memandangi Vania, ah dia pasti bisa, dia kan pintar.
“Lo gak nyatet materinya.” Mario berucap datar.
“Emang.” Vera hanya bisa pasrah, dia kembali menatap satu persatu angka-angka di depannya. Rasanya aku mau muntah ....
Kringg.......... bel sekolah berbunyi tanda waktu pulang sekolah telah tiba. Semua anak berteriak lepas, rasanya seperti sedang merdeka 45.
“Lo kalo mau nungguin gue jangan tunggu di pinggir jalan.”
“Hah apaaa? Siapa juga yang nungguin lo, geer banget sih.”
“Kalo lo mau nyalin matematika, dateng jam 4 ke rumah gue.”
Mario pergi keluar kelas dan memperlihatkan senyum tipis andalannya. Oh Tuhan, sumpah aku gak tahan liat senyumnya.Tiba-tiba Vania datang menghampiri Vera untuk mengajaknya pergi ke Mall. Vera mengiyakan saja karena dia juga bosan berada di rumah asal sampai pukul 4 sore, karena dia sudah berjanji pada dirinya sendiri akan menerima tawaran Mario.
Vera pergi ke foodcourt di sebuah mall di Bandung. Dia pergi naik taksi bersama Vania. Biar keren turunnya, kata Vania menjelaskan saat Vera menolak untuk naik taksi karena uangnya hanya pas-pasan.
“Oh iya, Mario gimana?”
“Dia baik-baik aja.”
“Maksud gue lo tau apa aja tentang dia?”
“Dia suka Matematika,basket,musik,dan suka coklat.”
“Sama sama penggemar coklat dong.”
“Gue pernah ngobrol sama dia di acara feskal musik. Yah, cuman ngobrol ngalor ngidul gitu, tapi gue seneng.”Gue juga, jawab Vera dalam hati.
Setelah asyik mengitari mall akhirnya mereka pulang naik angkutan umum yang berbeda. Vania bertempat tinggal di pinggir jalan raya yang dipenuhi dengan gedung-gedung yang menjulang tinggi. Vania adalah anak tunggal dari seorang pejabat dengan predikat orang terkaya ke-8 se-indonesia, tentu saja rumahnya mewah dan bertempat di kawasan elit. Sedangkan Vera hanya bertempat tinggal di area kompleks yang sepi dan sederhana, yang kadang rumah-rumahnya tak berpenghuni semua. Sama seperti rumah Vera yang setiap harinya terasa kosong lenyap tak bernyawa.
Vera turun dari angkutan umum dan berjalan menuju area kompleks perumahannya. Dia berjalan sendirian dan sesekali menendang kaleng-kaleng bekas yang ada di bawah kakinya. Tit tit tit tit ... suara klakson sepeda motor mengagetkannya.
“Cepet naik.” Mario menatap Vera dengan tatapan yang tajam. Vera menurut saja kepada Mario, tak peduli dengan rasa malu yang ada dalam dirinya. Mereka berhenti di depan rumah Mario, lalu masuk ke dalam rumah yang pintunya terbuka begitu saja. Vera mengikuti kemana Mario melangkah. Dan tibalah di tempat tujuan, yakni kamar Mario.
“Lo belum belajar yang mana aja?”
“Bab 3 gue gak ngerti, bab 5 bab 4 juga sama.”
“Lo ngapain aja di kelas?”
“Gue gak ngerti , hehe ...”
Mario menyuruh Vera duduk di atas lantai. Mario menerangkan satu persatu materi yang menurut Vera tak mengerti. Mario menyuruh Vera untuk mengerjakan soal-soal yang ia tulis di buku Vera. Seperti layaknya murid yang baik, Vera mengangguk saja setiap apa yang di perintahkan Mario kepadanya. Setelah satu jam berkutat dengan Trigonometri dan Mathematical logic, akhirnya mereka beristirahat.
“Lo mau minum apa?”
“Apa aja.”
“Air putih?”
“Boleh.”
Mario melangkah keluar kamarnya menuju dapur mengambil makanan dan minuman, sedang Vera asyik berpetualang dengan isi kamar Mario. Vera memandangi foto-foto kecil Mario bersama orang tuanya. Rasanya dia pernah bertemu dengan Mario kecil yang ada dalam foto ini. Dia menyentuh semua koleksi gitar milik Mario yang tergantung di dinding kamar.
Mario kembali ke kamar dengan membawa minuman dan snack. Mario membawa satu gelas air putih dan satu gelas orange juice serta keripik kentang.
“Ko gue minum air putih sedangkan lo minumnya jus?”
“Kenapa lo gak minta kalo mau?”
“Lo nawarinnya air putih.”
“Kenapa lo gak nolak?”
“Yaudah.”
Mereka menghabiskan minuman dan kerpik kentang satu toples penuh sehingga tak terasa waktu sudah menjelang malam. Vera melirik jam tangannya, lalu membereskan buku-bukunya yang berserakan di lantai. Vera menuruni tangga dan bergegas menuju pintu utama rumah untuk pulang. Vera melambaikan tangannya dan masuk ke dalam rumahnya. Ketika tiba di rumah, Vera mengintip lewat jendela yang ada di ruang tamu dan memandangi punggung Mario yang semakin menjauh dan menghilang dari pandangannya. Vera tersenyum gembira. Vera berlari menaiki tangga untuk mengganti pakaiannya karena sebentar lagi jam makan malam bersama ayahnya telah tiba.
Ketika Vera menghabiskan makan malamnya, Vera bertanya pada ayahnya. “Pah tau gak sih sama penghuni rumah di depan kita? Vera menatap ayahnya menunggu jawaban yang pasti. “Pak Hanggara maksud kamu?” Ayahnya masih mengaduk-ngaduk sisa kuah sotonya. “Ayah tahu?” Vera mengernyitkan dahinya, dia tidak mengetahui siapa pak Hanggara itu. “Bukankah dia sudah 17 tahun tinggal di sini? Papah rasa anaknya juga seumuran dengan kamu, mungkin teman kecilmu juga.” Vera terdiam kaku, otaknya terus berpikir, mengapa dia tidak pernah tau tentang Mario? Vera menelan ludah.
*
Vera duduk di lantai lapangan basket di temani Mario. Vera membuka ranselnya dan mengeluarkan satu botol air mineral dari dalam tasnya.
“Lo pasti haus.” Ucap Vera seraya memberikan botol minuman itu kepada Mario.
“Thanks.” Mario menerima minuman tersebut dan tersenyum tipis.
Hari sudah menjelang sore, mereka pun pulang meninggalkan lapangan basket dan berjalan menuju rumah mereka. Setiap hari Rabu dan Kamis mereka akan selalu berangkat sekolah bersama dan tentunya pulang sekolah pun bersama-sama. Mereka sama-sama mengikuti ekskul pada hari tersebut. Hari ini seperti biasa Vera menunggu Mario sampai selesai latihan.
“Rio hidung lo ko berdarah, jatuh dimana?”
“Tadi kelempar bola.”
“Sini gue bersihin darahnya”
“Terserah.”
Vera mengelap hidung Mario yang berdarah dengan beberapa helai tisyu.“Thanks.” Mario menatap Vera dalam dalam, seakan akan ingin masuk ke dalam dua bola mata yang hitam itu, dua bola mata yang sinarnya redup sehingga terlihat sayu.
Setelah selesai mengobati Mario, akhirnya keduanya melanjutkan perjalanan mereka. Tiba-tiba Hujan mengguyur kota Bandung, mengguyur mereka berdua.“Gue bawa payung.” Vera mengeluarkan payung dari ranselnya. “Tas lo serba ada.” Mereka pun tertawa bersama. Hujan semakin deras dan mereka masih setengah perjalanan menuju rumah. Lalu Mario melepaskan jaket yang di kenakannya dan mengenakannya di punggung Vera. “Lo pasti kedinginan.” Mario megucapkannya dengan datar. “Thanks.” Vera tersenyum manis kepada Mario.
Vera mengantarkan Mario sampai depan rumahnya. “Ini jaket lo.” Vera mencoba melepaskan jaket yang di kenakannya. “Buat lo aja.” Mario berlari masuk ke dalam rumahnya dan Vera masih berdiri di sana. “Hujan, hari ini kau memberikan rasa kebahagiaan, yang aku pun tak tau mengapa.”
*
Kringgggg......... Hari ini Vera kesiangan, Mbok Eva lupa membangunkannya, sedang jam wekernya entah mengapa tak berbunyi. Vera berlari menuju koridor sekolah dan sempat berhenti di mading lalu hendak pergi menuju toilet. Rasa sakit perut yang tiba-tiba datang begitu saja membuat Vera sedikit menderita. Vera terhenti ketika dia belum sampai di toilet, dia berpapasan dengan Mario yang sedang menenteng beberapa buku. “Lo kenapa?” Mario terheran-heran melihat wajah Vera yang pucat. “Gue sakit perut.” Vera memaksakan senyumannya dan langsung melanjutkan perjalanannya menuju toilet. Mario mengikuti Vera menuju toilet, dia berhenti ketika Vera masuk ke dalam salah satu kamar toilet perempuan. Semua perempuan yang masuk ke dalam kamar mandi tak henti menatap wajah Mario yang sedang berdiri di depan pintu toliet. Mario tak peduli dengan semua itu,ia malah balas menatap tajam permpuan-perempuan yang cekikikan menertawakannya.
Setelah keluar dari toilet, akhirnya Vera dan Mario duduk bersama di sebuah kursi taman. Banyak orang yang berlalu lalang di depan mereka. Ada yang menatapnya tidak suka, ada yang tersenyum salah tingkah, dan ada pula yang terlihat biasa saja. Vera memakluminya karena dia tahu Mario adalah salah satu cowok famoust di sekolah. Namun terkadang wajahnya yang flat, bahasa tubuhnya yang dingin, tatapan matanya yang serius membuat sekian banyak perempuan menyerah begitu saja. Banyak siswi-siswi perempuan yang menyimpan surat cinta mereka di loker Mario atau menyimpan bunga yang akhirnya di biarkan sampai kering di kolong meja Mario oleh Mario sendiri. Banyak yang mengatakan bahwa Mario cocok dengan Vania dikarenakan sama sama famoust, sama-sama cantik dan tampan. Tapi Vera tak pernah tahu siapa perempuan yang Mario suka. Apa Mario selalu menolak perempuan yang menyukainya? Entahlah Vera tak pernah mengetahuinya. Vera merasa tak ada perempuan yang bisa membuat hatinya luluh. Vera berharap dia bisa masuk dalam hatinya dan memilikinya untuk selamanya.
*
Sudah satu tahun berlalu, Vera kini duduk di kelas 2 bangku SMA. Vera masih bisa mengingat kembali ketika dia pertama kali menginjakan kakinya di sekolah ini. Rasanya baru kemarin dia mengikuti kegiatan masa orientasi siswa(MOS). Vera memejamkan matanya dan sesekali mendongak ke atas langit menatap langit biru. Mengapa hari ini tidak ada gerimis? Mengapa hari ini tidak ada pelangi?
“Gue udah nyimpen perasaan ini satu tahun. Entah kenapa banyak cowok yang gue tolak, rasanya gue belum bisa .. gue suka sama Mario.”
“Gue ngerti.”
“Selama ini gue hanya tau dia dari cerita-cerita yang lo ceritain ke gue aja. Gue juga pengen milikin dia, lo bantuin gue yah?”
Vera terdiam. Apa yang di katakan Vania barusan membuatnya terdiam kaku. Vera berdiri meninggalkan Vania yang masih terlentang di atas bukit. Vera pulang menuju rumahnya. Ketika tiba di depan rumahnya Vera berpapasan dengan Mario. Vera memalingkan wajahnya dan bergegas membuka pagar lalu masuk ke dalam rumahnya. Vera membuka pintu kamarnya dan langsung merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Kenapa hati ini begitu sakit? Kenapa Vania harus mengatakan hal itu? Mario ... gue takut kehilangan lo.. Vera melepaskan butir-butir air matanya yang kian lama terus membasahi pipinya.
*
Terik matahari membakar kulit dua insan itu. Sepanjang perjalanan menuju rumah mereka, mereka hanya diam. Vera sesekali melap keringat yang bercucuran di wajahnya denngan tangannya sendiri. Mario hanya diam melihat semua yang dilakukan Vera, dari mulai menggigit bibir,meremas-remas tangan, menyapu keringatnya padahal sudah tak ada keringat yang menempel di kulitnya,dia mengetahui bahwa Vera sedang dalam keadaan gugup atau nervous.
“Mario ada yang mau gue omongin.” Vera menatap lurus jalan yang ada di depannya.
“Apa?” Mario mngucapkannya seakan tidak ingin bertanya.
“Vania suka sama lo.” Vera mencoba mengucapkan kalimat itu meski terasa sakit.
“Lalu?” Mario menatap Vera seakan akan mencari tahu di balik dua bola matanya.
“Dia pengen jadi pacar lo?” Vera mencoba terlihat biasa saja.
“Lo pengen gue jadi pacar Vania?” Mario berucap datar.
“Gue harap lo mau.” Vera menarik napas dalam-dalam dan pergi meninggalkan Mario yang berdiri di depan rumah Vera. Vera masuk ke dalam rumahnya dan berlari menaiki tangga membuka pintu kamarnya dan duduk di balik pintu kamarnya. Dia memejamkan matanya dan meremas-remas tangannya. Rasanya ia sulit bernapas, sehingga seluruh anggota tubuhnya terasa sakit, merasakan apa yang ia rasakan. Vera tak tahu kenapa ia harus menangis, karena toh sebenarnya dia tak berhak untuk menangis.
*
Sudah dua minggu berlalu Vera tak mengobrol ataupun bertegur sapa dengan Mario. Dia tak lagi satu tempat duduk dengannya, karena tempat duduk mereka selalu di rolling satu minggu sekali. Vera malas melihat Mario apalagi Vania yang setiap bertemu pasti bercerita tentang Mario. Dia selalu pura-pura tidak melihat atau membuang muka ketika berpapasan dengan Mario dan Vania. Vera benar-benar menjauhi Mario dan Vania. Rasanya begitu sakit harus melihat mereka berjalan berdua atau hanya sekedar terlihat mengobrol. Dia benci pemandangan tersebut. Apalagi kalo Vera harus melihat Mario yang membonceng Vania di saat pulang sekolah. Meski Vera menyadari bahwa dia bukan siapa-siapa Mario yang tak berhak untuk bertindak seperti itu, tapi Vera merasa hatinya begitu sakit ketika Vania benar-benar memiliki Mario. Mengapa dia tidak mendapatkan apa yang di dapatkan Vania? Vania nyaris sempurna sebagai seorang perempuan, dia cantik, pintar,kaya, famoust dan baik. Rasanya dunia tak adil bagi Vera , dia tak begitu cantik, dia lemot dalam hitungan, keluarga yang sederhana dan hubungannya tak harmonis, tak banyak orang yang mengenalnya karena dia bukan siswi yang tidak senang ikut berorganisasi. tidak seperti Vania yang menjabat sebagai ketua OSIS.
Akhirnya aku pun harus mengalah terhadap keadaan. Menerima semua yang terjadi meskipun aku tak pernah menginginkannya. Aku berhenti untuk mengharapkanmu, membiarkanmu berlalu seperti angin. Tanpa rasa yang pasti aku melepaskanmu pergi. Seandainya aku boleh memilih untuk tidak ingin memilikimu, dan Tuhan membuatmu menjadi hal biasa saja untuku. Rasanya semuanya menyakitkan buat aku, membuat aku terjatuh, lunglai, tak berdaya. Tak cukup aku berteriak, tak cukup aku menangis... Mario apakah kau mengerti perasaanku ....
*
Akhirnya Vera tiba di tempat yang selama ini ia banggakan, yakni Puncak yang bertempat di daerah kawasan Cianjur-Bogor. Hari ini adalah liburan akhir tahun yang di adakan oleh sekolah. Vera menyeret dua kopernya menuju Villa. Tiba-tiba Vania memeluk Vera yang datangnya entah dari mana. Vera terkejut. Mengapa Vania tiba-tiba memeluknya? “Vera gue kangen sama lo, gue pengen kita liburan bareng di sini, maafin gue kalo selama ini nyuekin lo.” Vera melepaskan pelukan Vania, dia tersenyum seraya berkata “Maafin gue juga.”
Malam hari tiba saatnya untuk acara bakar ikan di halaman belakang Villa. Semua anak-anak menyalakan api unggun dan bergembira ria bernyanyi bersama-sama. Kecuali Vera yang hanya diam menyaksikan mereka semua dari kejauhan. Vera duduk di atas rumput dan mendongak ke atas langit. Tiba-tiba seseorang duduk di sampingnya dan ikut mendongak ke atas langit.
“Lo tau kenapa hari ini gak ada bintang di langit.?”
“Ngapain lo di sini?”
“Terserah gue. Kenapa lo harus jauhin gue?”
Vera terdiam dan mengarahkan pandangannya ke semua anak-anak yang sedang berkumpul di halaman belakang. Mario berdiri dan menatap Vera lekat-lekat. “Maafin gue, gue pengen kita tetep temenan kaya dulu.” Vera hanya menunduk tak berani menatap Mario. Vera beranjak dan akan kembali ke kamarnya. Dia ingin istirahat, dia tak mau memikirkan Mario.
Vera membuka pintu kamarnya dan mendapati Vania sedang duduk di jendela kamar. Mereka saling berpandangan lalu saling melempar senyum. Vera mendekat kepada Vania dan membelai rambut panjang nan indah itu.
“Lo suka gak sih sama Mario?” Vania menatap wajah Vera.
Vera tersenyum “Banyak perempuan yang menyukainya.”
“Gue cape, selama ini gue tak pernah tau apa yang sedang gue pertahanin. Lo tau gak berapa kali kita kontekan dalam satu hari? Kita juga pernah nggak kontekan selama 3 bulan. Tak ada yang istimewa dalam hubungan kami, tapi mengapa aku berat untuk melepaskannya?”
Vera terdiam setelah mendengarkan pengakuan Vania. Dia tak ingin berpikir banyak untuk saat ini. Dia memilih untuk tidur meski sulit memejamkan matanya.
*
Pagi yang cerah Vera berjalan menysuri kebun teh. Dia merasakan udara segar menyapanya di pagi hari ini. Tiba-tiba kakinya terpeleset sehingga ia pun terjatuh ke tanah. Vera meringis menahan rasa sakit akibat luka di kakinya. Lalu dari arah kejauhan tampak seorang laki-laki berlari menghampiri Vera. Laki-laki tersebut membantu Vera berdiri dengan merangkul pundaknya. “Thanks.” Vera mengucapkannnya dengan ragu dan tak berani menatap wajah laki-laki itu.
Setelah tiba di Villa, mereka berpapasan dengan Vania dan Rizky. Namun mereka tetap melanjutkan langkah kaki mereka menuju kamar Vera. Vera duduk di ranjangnya dan menatap laki-laki itu secara perlahan-lahan. “Gue sayang sama lo.” Ucap laki-laki itu dengan mantap. Gue juga, jawab Vera dalam hati. Vera menatap laki-laki itu yang berjalan membelakanginya lalu terhenti tepat di pintu kamar. Di sana berdiri seorang perempuan yang menatap Vera tanpa henti. Vera menunduk tak berani mengarahkan pandangannya ke arah pintu kamarnya. “Kita putus ya Vania.” Perempuan itu menarik napas dalam-dalam “Oke kalo itu yang lo mau.” Vera terdiam memandangi mereka yang pergi meninggalkan dia seorang diri di kamarnya. Vera kembali menatap kakinya yang masih mengeluarkan tetesan darah segar. Oh Tuhan apa yang telah terjadi?
*
Vera menatap Mamanya yang masih terdiam sedari tadi. Teh yang ada di hadapan mereka sudah berubah menjadi dingin. Lalu Mama memulai pembicaraannya dengan menatap mata Vera lekat-lekat.
“Mama minta maaf sebelumnya karena Mama harus mengatakan yang sebenarnya. Mama lelah harus terus menyembunyikannya, harus terus pura-pura seolah-olah tak terjadi apa-apa. Mama sudah tak mampu mempertahankan keluarga ini. Mama rasa ini keputusan terbaik untuk Mama sama Papamu. Maafkan Mama.” Mama pun mulai menangis. Vera memeluk Mamanya dengan erat, dan mereka pun menangis bersama.
Satu kenyataan yang harus Vera terima adalah bahwa keluargannya sudah tak utuh lagi dan kekosongan yang selama ini ia rasakan memang berakhir pada titik puncak dimana kekosongan itu akan terjadi selamanya dalam hidupnya. Vera akan tinggal di Jakarta bersama Papanya, sedangkan Mamanya tetap di Bandung untuk tetap mengurus pekerjaannya. Vera sedih harus meninggalkan kota kelahirannya ini, kota yang menjadi bagian terpenting dalam hidup Vera. Dia duduk dan menatap sebuah danau kecil yang airnya hampir surut, kini telah tiba musim kemarau dimana dia tak akan dapat menemukan gerimis dan pelangi lagi. Tuhan mengapa semuanya terjadi tanpa aku mau? Apakah aku tak berhak memiliki mereka, yakni orang-orang yang aku sayangi? Mario duduk di samping Vera menatap matanya dalam-dalam. Mario memeluk Vera erat dan membiarkan Vera menangis di bahunya. Mario merangkul pundak Vera dan menatap matanya dalam-dalam.
“Gue gak mau lo sedih, karena gue juga bakal sedih. Selama ini gue selalu mencoba untuk berdamai dengan kesedihan. Gue gak mau orang-orang yang sayang sama gue ikut sedih karena gue. Mereka adalah orang yang berbaik hati nan tulus yang menyayangi gue selama 12 tahun. Gue terkadang sedih ketika gue selalu merepotkan mereka. Dari kecil gue sering sakit-sakitan jadi gue berubah jadi anak rumahan yang nggak pinter bergaul, yang di bilang anak aneh sama semua orang.”
“Lo pasti menyimpan banyak kesedihan?”
“Kesedihan itu udah jadi kebahagiaan buat gue.”
Mario , kepadamu, aku menyimpan cemburu dalam harapan yang tertumpuk oleh sesak dipenuhi ragu. Terlalu banyak ruang yang tak bisa aku buka. Dan, kebersamaan cuma memperbanyak ruang tertutup.Mungkin, jalan kita tidak bersimpangan. Ya, jalanmu dan jalanku. Meski, diam- diam, aku masih saja menatapmu dengan cinta yang malu- malu.

Satu taun berlalu, Vera berjalan di sebuah kompleks perumahan yang sepi. Vera tak pernah merasa asing dengan pemandangan di sekitarnya. Semuanya masih terasa sama, bahkan tak ada sedikit pun yang berubah. Vera menghampiri seorang wanita yang hendak menutup pagar.
“Maaf bu, apakah ini rumahnya Mario Hanggara?”
“Silakan masuk dulu ke dalam.” Ibu itu membukakan pagarnya dan menyuruh Vera masuk ke dalam rumahnya. Lalu Vera duduk di sebuah sofa kecil sambil menatap ke sudut-sudut rumah yang terlihat sepi.
“Nak Vera, Mario sudah pergi satu tahun yang lalu.” Vera tercekat, nafasnya tiba-tiba berubah menjadi sesak. Apakah ia tak salah dengar? Apakah ibunya Mario sedang bergurau? Apakah dia sedang bermimpi?
“Mario pernah menitipkan benda ini untuk diberikan kepada seorang gadis yang bernama Vera. Dia mengatakan bahwa suatu saat nanti gadis itu akan datang mencarinya. Ibu rasa benda ini ditujukan untuk kamu karena selama ini ibu menunggu gadis yang akan datang ke rumah ini.”
Setelah menerima benda itu Vera berpamitan kepada sang Ibu untuk pulang. Vera berjalan menuju rumahnya yang sudah lama ia tinggalkan , dia membuka pagar dan berdiri disana. Dia kembali mengingat satu tahun ke belakang ketika Mario berdiri di sana untuk berangkat bersama ke sekolah. Vera tak percaya kini semuanya tinggal kenangan, kenangan yang paling berarti bersama Mario.
Vera membuka pintu kamarnya dan duduk menghadap ke jendela. Vera perlahan membuka kotak yang di berikan ibu Mario tadi. Sebuah buku tergelatak di sana. Vera meraih buku itu dan perlahan mencoba untuk membukanya.

*Gadis itu bernama Vera, aku menatapnya dengan tajam ketika dia berdiri di depan mading. Dia adalah teman sebangku ku untuk tahun ini, tahun pertama aku masuk SMA. Dia lumayan baik, setidaknya dia tak seperti kebanyakan orang sebelumnya yang malas berhadapan dengan aku yang sering di panggil anak aneh. Matanya yang bulat yang entah mengapa memberi sedikit kehangatan saat setiap kali aku menatap wajahnya. Hari ini aku mengembalikan bukunya yang tertinggal di kantin. Dia selalu menatapku malu-malu dan penuh ragu. Dia begitu canggung denganku, namun aku tak pernah menemukan rasa tidak suka di wajahnya kepadaku, setidaknya aku mempunyai seorang teman saat ini.
*Dia adalah gadis kecil yang pernah aku ejek namanya dahulu. Dia adalah teman terakhirku saat aku masih duduk di bangku dasar kelas 2. Sejak aku mengetahui bahwa aku mengidap sebuah penyakit yang sangat parah, aku tak pernah menatap wajah gadis kecil itu lagi. Tapi hari ini dia duduk  di sampingku di lapangan basket. Kami memang menjadi dekat entah kenapa. Kami sering pulang bersama, belajar bersama, berangkat sekolah bersama, ataupun bermain di depan danau sambil berayunan. Aku merasa sebagian jiwaku begitu hidup. Aku tak pernah menghirup udara luar, karena aku tak mau penyakit ini kambuh dan berubah menjadi lebih parah lagi. Namun akhir-akhir ini hidungku selalu mengeluarkan darah. Dia pernah menyeka darah yang mengalir dari hidungku, aku bahagia karena dia begitu baik padaku.
*Aku menyukainya dari pertama aku bertemu dengannya, meski aku tak pernah mengatakannya.Dia menyuruhku untuk menjadi pacar Vania. Hari ini Vania nembak aku, dan aku tak menjawabnya. Sejak itu dunia kembali berubah seperti dulu, Vera menjauhiku. Penyakit ku kembali menyerang tubuhku, rasanya tubuhku terlalu lemah saat ini. Mungkiin Vera membenciku,  karena Vania menjadi pacarku. Jujur, aku tak pernah ingin dia pergi dari hiudpku.
*Dia akan pergi meninggalkan kota Bandung, meninggalkan kesedihannya selama ini. Aku merangkul pundaknya untuk terakhir kali. Dia telah menjadikan hidupku lebih berarti. Novera .... aku menyayangimu, selamanya. Terima kasih kau telah memberikan ku cahaya di sisa akhir hidupku ....
FOR YOU, FOR LOVE .. NOVERA
“Lo tau kenapa hari ini gak ada bintang di langit?” Karena telah ada bintang yang terindah yang kini ada di sampingku.
“For you for love, Mario” Vera meletakan seikat bunga lili di atas makam Mario.Thanks Rio, kamu udah jadi teman yang begitu berarti sampai saat ini.Aku tak akan pernah melupakanmu sedikit pun. Selamat tinggal Mario, aku mencintaimu. Aku hanya berani mengatakannya sekarang, setelah kau pergi selamanya. Biarkan aku hidup bersama cintamu di sini.Aku dan kamu, seperti hujan dan teduh. Pernahkah kau mendengar kisah mereka? Hujan dan teduh ditakdirkan bertemu, tetapi tidak bersama dalam perjalanan.Seperti itulah cinta kita. Seperti menebak langit abu- abu. Mungkin, jalan kita tidak bersimpangan…