Karya : Novera Luciana
Novera
berdiri di atas bukit dengan sepedanya.Dia meremas-remas tangannya yang
disertai keringat dingin. “Darrr..... “Hayo lama banget ya gue ?”. Vania
tersenyum meminta maaf. Vera merebahkan tubuhnya di pohon besar dan Vania pun
mengikutinya. Mereka berdua sama-sama mendongak ke atas langit dan berbicara
kepada diri mereka masing-masing. Akankah nanti mereka pergi dari dunia ini
?
“Lo lagi inget orang tua lo ya?” Vania
merangkul kepala Bintang.
“Gue takut Van, gue hanya takut.” Vera
melepaskan satu butir air matanya, dia merindukan orang tuanya.
“Gue sayang lo Vera, gue udah anggep
lo jadi ade gue sendiri.Kita ini saudara,sahabat,keluarga, lo inget itu?” Vania
menatap Vera lekat-lekat.
“Makasih Van.” Mereka pun berpelukan
dan Vera menumpahkan air matanya, untuk kerinduan akan orang tuanya,
kesendiriaannya, dan semua kekosongan yang ia rasakan.
Mereka pulang menenteng sepeda
masing-masing.Vera merasa lega karena ia telah menangis, menumpahkan segalanya.
“Vera lo cerita dong, lo udah janji
bakal bilang siapa cowok yang lo suka.”
“Lo dulu aja Van.” Vera menyeringai,
meminta dan memohon kepada Vania.
“Lo dulu ah.” Vania mengelak.
“Lo dulu Van, entar abis lo baru
gue, janji deh.” Vera berusaha meyakinkan Vania.
“Oke. Gue suka sama Mario, gue
bener-bener suka sama dia. Bukankah gue pernah bilang?”
Vera terdiam, bukankah itu yang akan
dikatakannya? Kenapa harus keduluan oleh Vania? Lalu bagaimana?
“Ver lo denger kan?”
“Iya.”
“Gue suka sama Mario.Dia sering
senyum ke gue, entah gue yang geer atau ngga tapi gue suka sama dia.”
“Oh.”
“Kalo lo suka sama siapa?”
“Gue gak tahu.”
“Kok lo gitu sih, lo kan udah janji
sama gue, lo ga boleh tertutup gitu dong.”
“Gue suka sama ............’’
“Sama siapa?”
“Sama siapa ya ..... ’’
“Siapa namanya?”
“Gue gak tahu namanya.”
“Udah Ver, gue tau ko lo suka sama Rizky
kan?”
Vera menganngguk pelan dengan ragu
dan menatap wajah sahabatnya yang sedang gembira. Oh Tuhan ... kenapa harus Rizky
, kenapa harus dia yang terlibat? Vera mengumpat dalam hati.
“Lo harus bantu gue biar dapetin
dia.”
“Gue harus gimana?”
“Lo harus terus deketin dia, ngulik
tentang dia.”
“Hm ... ‘’’
“Lo lakuin buat gue yah ?”
“Ya.”
“Gue juga bakal lakuin hal yang sama.”
“Apaaaaaaa?”
*
Vera masuk ke dalam rumahnya, dia
meletakan sepedanya dengan asal di perkarangan rumah.Dia enggan untuk
mengembalikannya ke dalam garasi mobil.Vera langsung menuju kamarnya, meyalakan
lampu dan duduk di depan jendela. Gerimis sudah menyapanya sore ini, meski ia
tak merasakannya tapi ia menikmatinya di dalam kamarnya. Akhir-akhir ini sering
turun gerimis atau hujan sepanjang malam. Tapi dia lebih meyukai gerimis dan
pelangi sehabis hujan. Vera melihat kompleks perumahannya yang berderet memanjang
saling menghadap ke jalan. Vera mengambil buku dan pensil kesayangannya. Dia
menulis dan terus menggoreskan isi hatinya dia atas kertas putih itu ..
Tuhan,
aku lelah dengan semuanya.Mereka selau bersandiwara di depanku. Apakah mereka
tidak merasa bahagia? Lalu aku siapa bagi mereka? Tuhan, mengapa setiap aku
menatap matanya aku merasakan kekosongan yang sama? Tapi hati ini sejuk setiap
kali dia berada di sampingku. Semua orang tahu bahwa dia adalah cowok yang luar
biasa.Dia tampan, pintar, dan populerTapi kadang tatapannya begitu kosong,
bahasa tubuhnya begitu dingin dan kaku.Itulah yang kurasakan saat aku duduk
bersamanya. Kami memang tak sering banyak bicara, hanya saja sering berbasa
basi. Vania bilang dia menyukainya, lalu kenapa aku juga harus menyukainya? Apa
aku bisa masuk ke dalam dunianya? Apakah dia juga selalu merasakan kesenidirian
yang selalu aku rasakan selama ini? Aku tidak tahu .. Aku tak ingin tahu...
Vera merebahkan tubuhnya di atas
ranjang.Dia memeluk gulingnya, lau menoleh ke samping kannanya menatap foto
orang tuanya. Mama Papa, jangan tinggalin aku.Vania, Bude Helda, Opa, Om Putra,
kalian orang-orang yang sayang aku, aku juga sayang kalian.
*
Prang........ Tiba-tiba suara itu
menghantam telinga Vera. Vera terperanjat kaget dan bangun dari tidurnya.Tak
perlu waktu lama untuk memikirkan dari mana arah suara itu.Vera langsung keluar
dari kamarnya menuruni tangga dan menuju ruang tamu.Dia melebarkan matanya
ketika masih berdiri di anak tangga.Mama Papa? Kenapa mereka? Mengapa Mama
menangis? Mengapa Mama mendorong Papa hingga terjatuh? Oh Tuhan .. Ada apa
dengan semua ini? Vera kembali berlari menaiki tangga menuju kamarnya.Dia
langsung melompat ke atas ranjang dan memeluk gulingnya. Vera kembali
menumpahkan air matanya.
Tuhan mengapa mereka harus
bertengkar? Salah apa Papa sehingga Mama harus mendorongnya hingga terjatuh?
Tuhan, kenapa Mama menangis? Tuhan .. kenapa Tuhan? Kenapa?
*
Vera duduk seperti biasa di depan
jendela menatap cahaya matahari sore. Dia bosan sendirian, tadi dia melihat
papanya pulang dan langsung tidur. Vera keluar dari kamarnya menjinjing jaket
kulitnya dan berpamitan kepada Mbok Eva untuk pergi sebentar. Mamanya pergi ke
luar kota selama satu minggu dan kembali memperkerjakannya pembantunya.
Vera berjalan di sekitar area
kompleks yang sepi. Dia duduk di sebuah ayunan yang di depannya terdapat sebuah
danau kecil. Dia bergelayun layaknya saat ia masih jadi anak TK. Tiba-tiba
ayunan itu terhenti, dia menoleh ke samping dan Mario ada di sana.
“Rio lo ngapain di sini?”
“Keliatannya?”
“Nggak ngapa-ngapain.”
Mario tersenyum tipis. Vera
memandanginya dengan teliti, dia selalu mendapat kesan kagum setiap kali
memandang wajahnya. Tampan.
“Jalan-jalan yuk?”
“Kemana? Menurut lo bakal hujan gak
yo?”
“Paling gerimis doang.”
Vera tersenyum bahagia. Mereka
berjalan menyusuri jalanan kompleks yang sunyi.
“Mario lo punya adek, punya kakak,
atau anak tunggal?”
“Gue anak tunggal, kenapa?”
“Nggak, gue juga anak tunggal. Kalo
orang tua lo gimana?”
“Ibu gue seorang dokter gigi, Ayah
gue kepala rumah sakit.”
“Oh pantesan gigi lo rapi.” Vera
tertawa.
“Kalo ibu gue punya beberpa hotel di
Jakarta, dia seorang bisniswoman, Ayah gue juga Direktur perusahaan.”
Vera mendongak ke atas langit,
menatap langit yang mulai mendung.
“Apa yang lo suka Yo?”
“Apa aja.”
“Pasti lo suka matematika, suka
basket, suka musik, dan lo suka apa aja.”
“Kalo lo?”
“Gue suka gerimis, gue suka pelangi,
gue suka sastra, gue suka boneka, gue suka bunga, gue suka banyak.”
“Lo gak suka matematika, lo gak suka
sejarah .. ’’
“Haha gue gak suka tuh sama semua
pelajaran yang ada di sekolah.”
“Lo suka sastra.”
“Tapi gue Cuma suka sastra Prancis,
sastra indonesia gue gak terlalu suka selain novel.”
“Gue suka coklat.”
“Gue gak suka coklat, gigi gue udah
bolong-bolong.”
Mario mengelus-ngelus kepala Vera.
Vera kaget dengan apa yang di lakukan Mario kepadanya.
“Ini rumah gue ... “
“Hah ini rumah gue .. jadi rumah
kita berhadapan?”
Mario tak menjawab, dia langsung
membuka pagar rumahnya dan masuk ke dalam rumah. Vera masih terdiam disana dan
menatap rumah Mario. Jadi selama ini rumah aku sama Mario satu kompleks dan
berhadapan? Oh Tuhan ...
*
Pagi
hari Vera menuruni tangga lengkap dengan seragam dan tasnya. Dia berjalan
menuju meja makan dan langsung menyambar roti isi kacang kesukaannya.
Vera berdiri di pinggir jalan
celingukan mencari-cari Mario. Kok selama ini gak pernah ketemu yah? Vera
berdiri selama setengah jam dan hasilnya nihil. Apa dia berangkat subuh kali
ya? Vera berjalan pergi meninggalkan rumahnya. Dia tak mau terlambat
seperti hari kemarin, harus ketinggalan pelajaran dan susah meminjam catetan
Mario
*
Vera
duduk di kursinya dan menatap soal-soal yang ada di depannya dengan bingung. Kok
susah banget sih soalnya? Vera menyesali kebodohannya dalam hitungan. Dia
menoleh ke belakang memandangi Vania, ah dia pasti bisa, dia kan pintar.
“Lo gak nyatet materinya.” Mario
berucap datar.
“Emang.” Vera hanya bisa pasrah, dia
kembali menatap satu persatu angka-angka di depannya. Rasanya aku mau muntah
....
Kringg.......... bel sekolah
berbunyi tanda waktu pulang sekolah telah tiba. Semua anak berteriak lepas,
rasanya seperti sedang merdeka 45.
“Lo kalo mau nungguin gue jangan
tunggu di pinggir jalan.”
“Hah apaaa? Siapa juga yang nungguin
lo, geer banget sih.”
“Kalo lo mau nyalin matematika,
dateng jam 4 ke rumah gue.”
Mario pergi keluar kelas dan
memperlihatkan senyum tipis andalannya. Oh Tuhan, sumpah aku gak tahan liat
senyumnya.Tiba-tiba Vania datang menghampiri Vera untuk mengajaknya pergi
ke Mall. Vera mengiyakan saja karena dia juga bosan berada di rumah asal sampai
pukul 4 sore, karena dia sudah berjanji pada dirinya sendiri akan menerima
tawaran Mario.
Vera
pergi ke foodcourt di sebuah mall di Bandung. Dia pergi naik taksi bersama Vania.
Biar keren turunnya, kata Vania menjelaskan saat Vera menolak untuk naik taksi
karena uangnya hanya pas-pasan.
“Oh iya, Mario gimana?”
“Dia baik-baik aja.”
“Maksud gue lo tau apa aja tentang
dia?”
“Dia suka
Matematika,basket,musik,dan suka coklat.”
“Sama sama penggemar coklat dong.”
“Gue pernah ngobrol sama dia di
acara feskal musik. Yah, cuman ngobrol ngalor ngidul gitu, tapi gue seneng.”Gue
juga, jawab Vera dalam hati.
Setelah
asyik mengitari mall akhirnya mereka pulang naik angkutan umum yang berbeda. Vania
bertempat tinggal di pinggir jalan raya yang dipenuhi dengan gedung-gedung yang
menjulang tinggi. Vania adalah anak tunggal dari seorang pejabat dengan
predikat orang terkaya ke-8 se-indonesia, tentu saja rumahnya mewah dan
bertempat di kawasan elit. Sedangkan Vera hanya bertempat tinggal di area
kompleks yang sepi dan sederhana, yang kadang rumah-rumahnya tak berpenghuni
semua. Sama seperti rumah Vera yang setiap harinya terasa kosong lenyap tak
bernyawa.
Vera
turun dari angkutan umum dan berjalan menuju area kompleks perumahannya. Dia
berjalan sendirian dan sesekali menendang kaleng-kaleng bekas yang ada di bawah
kakinya. Tit tit tit tit ... suara klakson sepeda motor mengagetkannya.
“Cepet naik.” Mario menatap Vera
dengan tatapan yang tajam. Vera menurut saja kepada Mario, tak peduli dengan
rasa malu yang ada dalam dirinya. Mereka berhenti di depan rumah Mario, lalu
masuk ke dalam rumah yang pintunya terbuka begitu saja. Vera mengikuti kemana
Mario melangkah. Dan tibalah di tempat tujuan, yakni kamar Mario.
“Lo belum belajar yang mana aja?”
“Bab 3 gue gak ngerti, bab 5 bab 4
juga sama.”
“Lo ngapain aja di kelas?”
“Gue gak ngerti , hehe ...”
Mario
menyuruh Vera duduk di atas lantai. Mario menerangkan satu persatu materi yang
menurut Vera tak mengerti. Mario menyuruh Vera untuk mengerjakan soal-soal yang
ia tulis di buku Vera. Seperti layaknya murid yang baik, Vera mengangguk saja
setiap apa yang di perintahkan Mario kepadanya. Setelah satu jam berkutat
dengan Trigonometri dan Mathematical logic, akhirnya mereka beristirahat.
“Lo mau minum apa?”
“Apa aja.”
“Air putih?”
“Boleh.”
Mario
melangkah keluar kamarnya menuju dapur mengambil makanan dan minuman, sedang Vera
asyik berpetualang dengan isi kamar Mario. Vera memandangi foto-foto kecil
Mario bersama orang tuanya. Rasanya dia pernah bertemu dengan Mario kecil yang
ada dalam foto ini. Dia menyentuh semua koleksi gitar milik Mario yang
tergantung di dinding kamar.
Mario
kembali ke kamar dengan membawa minuman dan snack. Mario membawa satu gelas air
putih dan satu gelas orange juice serta keripik kentang.
“Ko gue minum air putih sedangkan lo
minumnya jus?”
“Kenapa lo gak minta kalo mau?”
“Lo nawarinnya air putih.”
“Kenapa lo gak nolak?”
“Yaudah.”
Mereka
menghabiskan minuman dan kerpik kentang satu toples penuh sehingga tak terasa
waktu sudah menjelang malam. Vera melirik jam tangannya, lalu membereskan
buku-bukunya yang berserakan di lantai. Vera menuruni tangga dan bergegas
menuju pintu utama rumah untuk pulang. Vera melambaikan tangannya dan masuk ke
dalam rumahnya. Ketika tiba di rumah, Vera mengintip lewat jendela yang ada di
ruang tamu dan memandangi punggung Mario yang semakin menjauh dan menghilang
dari pandangannya. Vera tersenyum gembira. Vera berlari menaiki tangga untuk
mengganti pakaiannya karena sebentar lagi jam makan malam bersama ayahnya telah
tiba.
Ketika
Vera menghabiskan makan malamnya, Vera bertanya pada ayahnya. “Pah tau gak sih
sama penghuni rumah di depan kita? Vera menatap ayahnya menunggu jawaban yang
pasti. “Pak Hanggara maksud kamu?” Ayahnya masih mengaduk-ngaduk sisa kuah
sotonya. “Ayah tahu?” Vera mengernyitkan dahinya, dia tidak mengetahui siapa
pak Hanggara itu. “Bukankah dia sudah 17 tahun tinggal di sini? Papah rasa
anaknya juga seumuran dengan kamu, mungkin teman kecilmu juga.” Vera terdiam
kaku, otaknya terus berpikir, mengapa dia tidak pernah tau tentang Mario? Vera
menelan ludah.
*
Vera
duduk di lantai lapangan basket di temani Mario. Vera membuka ranselnya dan
mengeluarkan satu botol air mineral dari dalam tasnya.
“Lo pasti haus.” Ucap Vera
seraya memberikan botol minuman itu kepada Mario.
“Thanks.” Mario menerima minuman
tersebut dan tersenyum tipis.
Hari
sudah menjelang sore, mereka pun pulang meninggalkan lapangan basket dan
berjalan menuju rumah mereka. Setiap hari Rabu dan Kamis mereka akan selalu
berangkat sekolah bersama dan tentunya pulang sekolah pun bersama-sama. Mereka
sama-sama mengikuti ekskul pada hari tersebut. Hari ini seperti biasa Vera
menunggu Mario sampai selesai latihan.
“Rio hidung lo ko berdarah, jatuh
dimana?”
“Tadi kelempar bola.”
“Sini gue bersihin darahnya”
“Terserah.”
Vera
mengelap hidung Mario yang berdarah dengan beberapa helai tisyu.“Thanks.” Mario
menatap Vera dalam dalam, seakan akan ingin masuk ke dalam dua bola mata yang
hitam itu, dua bola mata yang sinarnya redup sehingga terlihat sayu.
Setelah
selesai mengobati Mario, akhirnya keduanya melanjutkan perjalanan mereka.
Tiba-tiba Hujan mengguyur kota Bandung, mengguyur mereka berdua.“Gue bawa
payung.” Vera mengeluarkan payung dari ranselnya. “Tas lo serba ada.” Mereka
pun tertawa bersama. Hujan semakin deras dan mereka masih setengah perjalanan
menuju rumah. Lalu Mario melepaskan jaket yang di kenakannya dan mengenakannya
di punggung Vera. “Lo pasti kedinginan.” Mario megucapkannya dengan datar.
“Thanks.” Vera tersenyum manis kepada Mario.
Vera
mengantarkan Mario sampai depan rumahnya. “Ini jaket lo.” Vera mencoba
melepaskan jaket yang di kenakannya. “Buat lo aja.” Mario berlari masuk ke dalam
rumahnya dan Vera masih berdiri di sana. “Hujan, hari ini kau memberikan
rasa kebahagiaan, yang aku pun tak tau mengapa.”
*
Kringgggg.........
Hari ini Vera kesiangan, Mbok Eva lupa membangunkannya, sedang jam wekernya
entah mengapa tak berbunyi. Vera berlari menuju koridor sekolah dan sempat
berhenti di mading lalu hendak pergi menuju toilet. Rasa sakit perut yang
tiba-tiba datang begitu saja membuat Vera sedikit menderita. Vera terhenti
ketika dia belum sampai di toilet, dia berpapasan dengan Mario yang sedang
menenteng beberapa buku. “Lo kenapa?” Mario terheran-heran melihat wajah Vera
yang pucat. “Gue sakit perut.” Vera memaksakan senyumannya dan langsung
melanjutkan perjalanannya menuju toilet. Mario mengikuti Vera menuju toilet,
dia berhenti ketika Vera masuk ke dalam salah satu kamar toilet perempuan.
Semua perempuan yang masuk ke dalam kamar mandi tak henti menatap wajah Mario
yang sedang berdiri di depan pintu toliet. Mario tak peduli dengan semua itu,ia
malah balas menatap tajam permpuan-perempuan yang cekikikan menertawakannya.
Setelah
keluar dari toilet, akhirnya Vera dan Mario duduk bersama di sebuah kursi
taman. Banyak orang yang berlalu lalang di depan mereka. Ada yang menatapnya
tidak suka, ada yang tersenyum salah tingkah, dan ada pula yang terlihat biasa
saja. Vera memakluminya karena dia tahu Mario adalah salah satu cowok famoust
di sekolah. Namun terkadang wajahnya yang flat, bahasa tubuhnya yang dingin,
tatapan matanya yang serius membuat sekian banyak perempuan menyerah begitu
saja. Banyak siswi-siswi perempuan yang menyimpan surat cinta mereka di loker
Mario atau menyimpan bunga yang akhirnya di biarkan sampai kering di kolong
meja Mario oleh Mario sendiri. Banyak yang mengatakan bahwa Mario cocok dengan Vania
dikarenakan sama sama famoust, sama-sama cantik dan tampan. Tapi Vera tak
pernah tahu siapa perempuan yang Mario suka. Apa Mario selalu menolak
perempuan yang menyukainya? Entahlah Vera tak pernah mengetahuinya. Vera
merasa tak ada perempuan yang bisa membuat hatinya luluh. Vera berharap dia
bisa masuk dalam hatinya dan memilikinya untuk selamanya.
*
Sudah
satu tahun berlalu, Vera kini duduk di kelas 2 bangku SMA. Vera masih bisa
mengingat kembali ketika dia pertama kali menginjakan kakinya di sekolah ini.
Rasanya baru kemarin dia mengikuti kegiatan masa orientasi siswa(MOS). Vera
memejamkan matanya dan sesekali mendongak ke atas langit menatap langit biru.
Mengapa hari ini tidak ada gerimis? Mengapa hari ini tidak ada pelangi?
“Gue udah nyimpen perasaan ini satu
tahun. Entah kenapa banyak cowok yang gue tolak, rasanya gue belum bisa .. gue
suka sama Mario.”
“Gue ngerti.”
“Selama ini gue hanya tau dia dari
cerita-cerita yang lo ceritain ke gue aja. Gue juga pengen milikin dia, lo
bantuin gue yah?”
Vera
terdiam. Apa yang di katakan Vania barusan membuatnya terdiam kaku. Vera
berdiri meninggalkan Vania yang masih terlentang di atas bukit. Vera pulang
menuju rumahnya. Ketika tiba di depan rumahnya Vera berpapasan dengan Mario. Vera
memalingkan wajahnya dan bergegas membuka pagar lalu masuk ke dalam rumahnya. Vera
membuka pintu kamarnya dan langsung merebahkan tubuhnya di atas ranjang.
Kenapa hati ini begitu sakit? Kenapa Vania harus mengatakan hal itu? Mario ...
gue takut kehilangan lo.. Vera melepaskan butir-butir air matanya yang kian
lama terus membasahi pipinya.
*
Terik
matahari membakar kulit dua insan itu. Sepanjang perjalanan menuju rumah
mereka, mereka hanya diam. Vera sesekali melap keringat yang bercucuran di
wajahnya denngan tangannya sendiri. Mario hanya diam melihat semua yang
dilakukan Vera, dari mulai menggigit bibir,meremas-remas tangan, menyapu
keringatnya padahal sudah tak ada keringat yang menempel di kulitnya,dia
mengetahui bahwa Vera sedang dalam keadaan gugup atau nervous.
“Mario ada yang mau gue omongin.” Vera
menatap lurus jalan yang ada di depannya.
“Apa?” Mario mngucapkannya seakan
tidak ingin bertanya.
“Vania suka sama lo.” Vera mencoba
mengucapkan kalimat itu meski terasa sakit.
“Lalu?” Mario menatap Vera seakan
akan mencari tahu di balik dua bola matanya.
“Dia pengen jadi pacar lo?” Vera
mencoba terlihat biasa saja.
“Lo pengen gue jadi pacar Vania?”
Mario berucap datar.
“Gue harap lo mau.” Vera menarik
napas dalam-dalam dan pergi meninggalkan Mario yang berdiri di depan rumah Vera.
Vera masuk ke dalam rumahnya dan berlari menaiki tangga membuka pintu kamarnya
dan duduk di balik pintu kamarnya. Dia memejamkan matanya dan meremas-remas
tangannya. Rasanya ia sulit bernapas, sehingga seluruh anggota tubuhnya terasa
sakit, merasakan apa yang ia rasakan. Vera tak tahu kenapa ia harus menangis,
karena toh sebenarnya dia tak berhak untuk menangis.
*
Sudah
dua minggu berlalu Vera tak mengobrol ataupun bertegur sapa dengan Mario. Dia
tak lagi satu tempat duduk dengannya, karena tempat duduk mereka selalu di
rolling satu minggu sekali. Vera malas melihat Mario apalagi Vania yang setiap
bertemu pasti bercerita tentang Mario. Dia selalu pura-pura tidak melihat atau
membuang muka ketika berpapasan dengan Mario dan Vania. Vera benar-benar
menjauhi Mario dan Vania. Rasanya begitu sakit harus melihat mereka berjalan
berdua atau hanya sekedar terlihat mengobrol. Dia benci pemandangan tersebut.
Apalagi kalo Vera harus melihat Mario yang membonceng Vania di saat pulang
sekolah. Meski Vera menyadari bahwa dia bukan siapa-siapa Mario yang tak berhak
untuk bertindak seperti itu, tapi Vera merasa hatinya begitu sakit ketika Vania
benar-benar memiliki Mario. Mengapa dia tidak mendapatkan apa yang di dapatkan Vania?
Vania nyaris sempurna sebagai seorang perempuan, dia cantik, pintar,kaya,
famoust dan baik. Rasanya dunia tak adil bagi Vera , dia tak begitu cantik, dia
lemot dalam hitungan, keluarga yang sederhana dan hubungannya tak harmonis, tak
banyak orang yang mengenalnya karena dia bukan siswi yang tidak senang ikut
berorganisasi. tidak seperti Vania yang menjabat sebagai ketua OSIS.
Akhirnya
aku pun harus mengalah terhadap keadaan. Menerima semua yang terjadi meskipun
aku tak pernah menginginkannya. Aku berhenti untuk mengharapkanmu, membiarkanmu
berlalu seperti angin. Tanpa rasa yang pasti aku melepaskanmu pergi. Seandainya
aku boleh memilih untuk tidak ingin memilikimu, dan Tuhan membuatmu menjadi hal
biasa saja untuku. Rasanya semuanya menyakitkan buat aku, membuat aku terjatuh,
lunglai, tak berdaya. Tak cukup aku berteriak, tak cukup aku menangis... Mario
apakah kau mengerti perasaanku ....
*
Akhirnya
Vera tiba di tempat yang selama ini ia banggakan, yakni Puncak yang bertempat
di daerah kawasan Cianjur-Bogor. Hari ini adalah liburan akhir tahun yang di
adakan oleh sekolah. Vera menyeret dua kopernya menuju Villa. Tiba-tiba Vania
memeluk Vera yang datangnya entah dari mana. Vera terkejut. Mengapa Vania
tiba-tiba memeluknya? “Vera gue kangen sama lo, gue pengen kita liburan bareng
di sini, maafin gue kalo selama ini nyuekin lo.” Vera melepaskan pelukan Vania,
dia tersenyum seraya berkata “Maafin gue juga.”
Malam
hari tiba saatnya untuk acara bakar ikan di halaman belakang Villa. Semua
anak-anak menyalakan api unggun dan bergembira ria bernyanyi bersama-sama.
Kecuali Vera yang hanya diam menyaksikan mereka semua dari kejauhan. Vera duduk
di atas rumput dan mendongak ke atas langit. Tiba-tiba seseorang duduk di
sampingnya dan ikut mendongak ke atas langit.
“Lo tau kenapa hari ini gak ada
bintang di langit.?”
“Ngapain lo di sini?”
“Terserah gue. Kenapa lo harus
jauhin gue?”
Vera
terdiam dan mengarahkan pandangannya ke semua anak-anak yang sedang berkumpul
di halaman belakang. Mario berdiri dan menatap Vera lekat-lekat. “Maafin gue,
gue pengen kita tetep temenan kaya dulu.” Vera hanya menunduk tak berani
menatap Mario. Vera beranjak dan akan kembali ke kamarnya. Dia ingin istirahat,
dia tak mau memikirkan Mario.
Vera membuka pintu kamarnya dan
mendapati Vania sedang duduk di jendela kamar. Mereka saling berpandangan lalu
saling melempar senyum. Vera mendekat kepada Vania dan membelai rambut panjang
nan indah itu.
“Lo suka gak sih sama Mario?” Vania
menatap wajah Vera.
Vera tersenyum “Banyak perempuan
yang menyukainya.”
“Gue cape, selama ini gue tak pernah
tau apa yang sedang gue pertahanin. Lo tau gak berapa kali kita kontekan dalam
satu hari? Kita juga pernah nggak kontekan selama 3 bulan. Tak ada yang
istimewa dalam hubungan kami, tapi mengapa aku berat untuk melepaskannya?”
Vera terdiam setelah mendengarkan
pengakuan Vania. Dia tak ingin berpikir banyak untuk saat ini. Dia memilih
untuk tidur meski sulit memejamkan matanya.
*
Pagi
yang cerah Vera berjalan menysuri kebun teh. Dia merasakan udara segar
menyapanya di pagi hari ini. Tiba-tiba kakinya terpeleset sehingga ia pun terjatuh
ke tanah. Vera meringis menahan rasa sakit akibat luka di kakinya. Lalu dari
arah kejauhan tampak seorang laki-laki berlari menghampiri Vera. Laki-laki
tersebut membantu Vera berdiri dengan merangkul pundaknya. “Thanks.” Vera
mengucapkannnya dengan ragu dan tak berani menatap wajah laki-laki itu.
Setelah tiba di Villa, mereka
berpapasan dengan Vania dan Rizky. Namun mereka tetap melanjutkan langkah kaki
mereka menuju kamar Vera. Vera duduk di ranjangnya dan menatap laki-laki itu
secara perlahan-lahan. “Gue sayang sama lo.” Ucap laki-laki itu dengan
mantap. Gue juga, jawab Vera dalam hati. Vera menatap laki-laki itu yang
berjalan membelakanginya lalu terhenti tepat di pintu kamar. Di sana berdiri
seorang perempuan yang menatap Vera tanpa henti. Vera menunduk tak berani
mengarahkan pandangannya ke arah pintu kamarnya. “Kita putus ya Vania.”
Perempuan itu menarik napas dalam-dalam “Oke kalo itu yang lo mau.” Vera
terdiam memandangi mereka yang pergi meninggalkan dia seorang diri di kamarnya.
Vera kembali menatap kakinya yang masih mengeluarkan tetesan darah segar. Oh
Tuhan apa yang telah terjadi?
*
Vera menatap Mamanya yang masih
terdiam sedari tadi. Teh yang ada di hadapan mereka sudah berubah menjadi
dingin. Lalu Mama memulai pembicaraannya dengan menatap mata Vera lekat-lekat.
“Mama minta maaf sebelumnya karena
Mama harus mengatakan yang sebenarnya. Mama lelah harus terus
menyembunyikannya, harus terus pura-pura seolah-olah tak terjadi apa-apa. Mama
sudah tak mampu mempertahankan keluarga ini. Mama rasa ini keputusan terbaik
untuk Mama sama Papamu. Maafkan Mama.” Mama pun mulai menangis. Vera memeluk
Mamanya dengan erat, dan mereka pun menangis bersama.
Satu
kenyataan yang harus Vera terima adalah bahwa keluargannya sudah tak utuh lagi
dan kekosongan yang selama ini ia rasakan memang berakhir pada titik puncak
dimana kekosongan itu akan terjadi selamanya dalam hidupnya. Vera akan tinggal
di Jakarta bersama Papanya, sedangkan Mamanya tetap di Bandung untuk tetap
mengurus pekerjaannya. Vera sedih harus meninggalkan kota kelahirannya ini,
kota yang menjadi bagian terpenting dalam hidup Vera. Dia duduk dan menatap
sebuah danau kecil yang airnya hampir surut, kini telah tiba musim kemarau
dimana dia tak akan dapat menemukan gerimis dan pelangi lagi. Tuhan mengapa
semuanya terjadi tanpa aku mau? Apakah aku tak berhak memiliki mereka, yakni
orang-orang yang aku sayangi? Mario duduk di samping Vera menatap matanya
dalam-dalam. Mario memeluk Vera erat dan membiarkan Vera menangis di bahunya.
Mario merangkul pundak Vera dan menatap matanya dalam-dalam.
“Gue gak mau lo sedih, karena gue
juga bakal sedih. Selama ini gue selalu mencoba untuk berdamai dengan
kesedihan. Gue gak mau orang-orang yang sayang sama gue ikut sedih karena gue.
Mereka adalah orang yang berbaik hati nan tulus yang menyayangi gue selama 12
tahun. Gue terkadang sedih ketika gue selalu merepotkan mereka. Dari kecil gue
sering sakit-sakitan jadi gue berubah jadi anak rumahan yang nggak pinter
bergaul, yang di bilang anak aneh sama semua orang.”
“Lo pasti menyimpan banyak
kesedihan?”
“Kesedihan itu udah jadi kebahagiaan
buat gue.”
Mario , kepadamu, aku
menyimpan cemburu dalam harapan yang tertumpuk oleh sesak dipenuhi ragu. Terlalu
banyak ruang yang tak bisa aku buka. Dan, kebersamaan cuma memperbanyak
ruang tertutup.Mungkin, jalan kita tidak bersimpangan. Ya, jalanmu dan jalanku.
Meski, diam- diam, aku masih saja menatapmu dengan cinta yang malu- malu.
Satu taun berlalu, Vera berjalan di
sebuah kompleks perumahan yang sepi. Vera tak pernah merasa asing dengan
pemandangan di sekitarnya. Semuanya masih terasa sama, bahkan tak ada sedikit
pun yang berubah. Vera menghampiri seorang wanita yang hendak menutup pagar.
“Maaf bu, apakah ini rumahnya Mario
Hanggara?”
“Silakan masuk dulu ke dalam.” Ibu
itu membukakan pagarnya dan menyuruh Vera masuk ke dalam rumahnya. Lalu Vera
duduk di sebuah sofa kecil sambil menatap ke sudut-sudut rumah yang terlihat
sepi.
“Nak Vera, Mario sudah pergi satu
tahun yang lalu.” Vera tercekat, nafasnya tiba-tiba berubah menjadi sesak.
Apakah ia tak salah dengar? Apakah ibunya Mario sedang bergurau? Apakah dia
sedang bermimpi?
“Mario pernah menitipkan benda ini
untuk diberikan kepada seorang gadis yang bernama Vera. Dia mengatakan bahwa
suatu saat nanti gadis itu akan datang mencarinya. Ibu rasa benda ini ditujukan
untuk kamu karena selama ini ibu menunggu gadis yang akan datang ke rumah ini.”
Setelah menerima benda itu Vera
berpamitan kepada sang Ibu untuk pulang. Vera berjalan menuju rumahnya yang sudah
lama ia tinggalkan , dia membuka pagar dan berdiri disana. Dia kembali
mengingat satu tahun ke belakang ketika Mario berdiri di sana untuk berangkat
bersama ke sekolah. Vera tak percaya kini semuanya tinggal kenangan, kenangan
yang paling berarti bersama Mario.
Vera membuka pintu kamarnya dan
duduk menghadap ke jendela. Vera perlahan membuka kotak yang di berikan ibu
Mario tadi. Sebuah buku tergelatak di sana. Vera meraih buku itu dan perlahan
mencoba untuk membukanya.
*Gadis
itu bernama Vera, aku menatapnya dengan tajam ketika dia berdiri di depan
mading. Dia adalah teman sebangku ku untuk tahun ini, tahun pertama aku masuk
SMA. Dia lumayan baik, setidaknya dia tak seperti kebanyakan orang sebelumnya
yang malas berhadapan dengan aku yang sering di panggil anak aneh. Matanya yang
bulat yang entah mengapa memberi sedikit kehangatan saat setiap kali aku
menatap wajahnya. Hari ini aku mengembalikan bukunya yang tertinggal di kantin.
Dia selalu menatapku malu-malu dan penuh ragu. Dia begitu canggung denganku,
namun aku tak pernah menemukan rasa tidak suka di wajahnya kepadaku, setidaknya
aku mempunyai seorang teman saat ini.
*Dia
adalah gadis kecil yang pernah aku ejek namanya dahulu. Dia adalah teman
terakhirku saat aku masih duduk di bangku dasar kelas 2. Sejak aku mengetahui
bahwa aku mengidap sebuah penyakit yang sangat parah, aku tak pernah menatap
wajah gadis kecil itu lagi. Tapi hari ini dia duduk  di sampingku di
lapangan basket. Kami memang menjadi dekat entah kenapa. Kami sering pulang
bersama, belajar bersama, berangkat sekolah bersama, ataupun bermain di depan
danau sambil berayunan. Aku merasa sebagian jiwaku begitu hidup. Aku tak pernah
menghirup udara luar, karena aku tak mau penyakit ini kambuh dan berubah
menjadi lebih parah lagi. Namun akhir-akhir ini hidungku selalu mengeluarkan
darah. Dia pernah menyeka darah yang mengalir dari hidungku, aku bahagia karena
dia begitu baik padaku.
*Aku
menyukainya dari pertama aku bertemu dengannya, meski
aku tak pernah mengatakannya.Dia menyuruhku untuk menjadi pacar Vania. Hari ini
Vania nembak aku, dan aku tak menjawabnya. Sejak itu dunia kembali berubah
seperti dulu, Vera menjauhiku. Penyakit ku kembali menyerang tubuhku, rasanya
tubuhku terlalu lemah saat ini. Mungkiin Vera membenciku,  karena Vania
menjadi pacarku. Jujur, aku tak pernah ingin dia pergi dari hiudpku.
*Dia
akan pergi meninggalkan kota Bandung, meninggalkan kesedihannya selama ini. Aku
merangkul pundaknya untuk terakhir kali. Dia telah menjadikan hidupku lebih
berarti. Novera .... aku menyayangimu, selamanya. Terima kasih kau telah
memberikan ku cahaya di sisa akhir hidupku ....
FOR
YOU, FOR LOVE .. NOVERA
“Lo tau kenapa hari ini gak ada
bintang di langit?” Karena telah ada bintang yang terindah yang kini
ada di sampingku.
“For you for love, Mario” Vera
meletakan seikat bunga lili di atas makam Mario.Thanks Rio, kamu udah jadi
teman yang begitu berarti sampai saat ini.Aku tak akan pernah melupakanmu
sedikit pun. Selamat tinggal Mario, aku mencintaimu. Aku hanya berani
mengatakannya sekarang, setelah kau pergi selamanya. Biarkan aku hidup bersama
cintamu di sini.Aku dan kamu, seperti hujan dan
teduh. Pernahkah kau mendengar kisah mereka? Hujan dan teduh ditakdirkan
bertemu, tetapi tidak bersama dalam perjalanan.Seperti itulah cinta kita.
Seperti menebak langit abu- abu. Mungkin, jalan kita tidak bersimpangan…

